Affandi Koesoema
Karya:
"Laskar
rakyat mengatur siasat" by Affandi
BIOGRAFI
Affandi dilahirkan di Cirebon pada
tahun 1907, putra
dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon.
Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang
cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir
anak negeri.
Namun, bakat seni lukisnya yang
sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang
telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.
Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya
akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.
Sebelum mulai melukis, Affandi
pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan
pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung.
Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang
seni lukis.
Sekitar tahun 30-an, Affandi
bergabung dalam kelompok Lima
Bandung, yaitu kelompok lima pelukis
Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan,
Barli, Sudarso, dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan
kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni
rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerja sama
saling membantu sesama pelukis.
Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung
Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di
Indonesia. Empat Serangkai--yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs.
Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai
Haji Mas Mansyur--memimpin Seksi Kebudayaan Poetera
(Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera
ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S.
Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang
langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.
Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan
tembok-tembok ditulisi antara lain "Merdeka atau mati!". Kata-kata
itu diambil dari penutup pidato Bung Karno,
Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster.
Poster yang merupakan ide Soekarno itu menggambarkan seseorang yang dirantai tapi rantainya
sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Kata-kata yang dituliskan di poster itu ("Bung, ayo
bung") merupakan usulan dari penyair Chairil Anwar.
Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah.
Bakat melukis yang menonjol pada
diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat,
dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan,
India, suatu
akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan
bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya
biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran
keliling negeri India.
Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante.
Dan terpilihlah dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe Poerbodiningrat
dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang konstituante,
menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya Affandi cuma
diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara.
Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang dipimpin Wikana,
teman dekat Affandi juga sejak sebelum revolusi.
Topik yang diangkat Affandi adalah
tentang perikebinatangan, bukan perikemanusiaan dan dianggap sebagai lelucon
pada waktu itu. Affandi merupakan seorang pelukis rendah hati yang masih dekat
dengan flora, fauna, dan lingkungan walau hidup di era teknologi. Ketika
Affandi mempersoalkan 'Perikebinatangan' tahun 1955, kesadaran masyarakat
terhadap lingkungan hidup masih sangat rendah.
Affandi juga termasuk pimpinan pusat
Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto.
Dia bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung,
dan sebagainya.
Pada tahun enampuluhan, gerakan anti
imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup
gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai 'kebudayaan imperialis'.
Film-film Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan
untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun, pameran di sana.
Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul,
ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi yang pimpinan Lekra kok pameran di
tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang nyeletuk:
"Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tapi dia tak bisa membedakan antara
Lekra dengan Lepra!" kata teman itu dengan kalem. Karuan saja semua
tertawa.
Meski sudah melanglangbuana ke
berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang sederhana dan suka
merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai
idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk
idola, biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak, seperti; Arjuna,
Gatutkaca, Bima atau Werkudara, Kresna.
Namun, Affandi memilih Sokrasana
yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh wayang itu menurutnya merupakan
perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang tampan. Meskipun begitu,
Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan
wajahnya dengan menerbitkan prangko baru seri tokoh seni/artis Indonesia.
Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi) gambar yang digunakan untuk perangko
itu adalah lukisan self-portrait Affandi tahun 1974, saat Affandi masih
begitu getol dan produktif melukis di museum sekaligus kediamannya di tepi Kali
Gajahwong Yogyakarta.
Basoeki Abdullah
Karya :
"Flower" by Basuki
Abdullah
BIOGRAFI
Basoeki Abdullah lahir di Surakarta,
Jawa Tengah, 25 Januari 1915 – meninggal 5 November 1993 pada umur 78 tahun,
dia merupakan salah satu pelukis maestro yang dimiliki Indonesia.Ia dikenal
sebagai pelukis aliran realis dan naturalis. Ia pernah diangkat menjadi pelukis
resmi Istana Merdeka Jakarta dan karya-karyanya menghiasi istana negara dan
kepresidenan Indonesia, karyanya juga koleksi oleh para kolektor dari berbagai
penjuru dunia.
Bakat melukisnya terwarisi dari
ayahnya, Abdullah Suryo Subroto, yang juga seorang pelukis dan penari.
Sedangkan kakeknya adalah seorang tokoh Pergerakan Kebangkitan Nasional
Indonesia pada awal tahun 1900-an yaitu Doktor Wahidin Sudirohusodo. Sejak umur
4 tahun Basoeki Abdullah mulai gemar melukis beberapa tokoh terkenal diantaranya
Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore, Yesus Kristus dan Krishnamurti.
Pendidikan formal Basoeki Abdullah
diperoleh di HIS Katolik dan Mulo Katolik di Solo. Berkat bantuan Pastur Koch
SJ, Basoeki Abdullah pada tahun 1933 memperoleh beasiswa untuk belajar di
Akademik Seni Rupa (Academie Voor Beeldende Kunsten) di Den Haag, Belanda, dan
menyelesaikan studinya dalam waktu 3 tahun dengan meraih penghargaan Sertifikat
Royal International of Art (RIA).
Pada masa Pemerintahan Jepang,
Basoeki Abdullah bergabung dalam Gerakan Poetra atau Pusat Tenaga Rakyat yang
dibentuk pada tanggal 19 Maret 1943. Di dalam Gerakan Poetra ini Basoeki
Abdullah mendapat tugas mengajar seni lukis. Murid-muridnya antara lain Kusnadi
(pelukis dan kritikus seni rupa Indonesia) dan Zaini (pelukis impresionisme).
Selain organisasi Poetra, Basoeki Abdullah juga aktif dalam Keimin Bunka
Sidhosjo (sebuah Pusat Kebudayaan milik pemerintah Jepang) bersama-sama
Affandi, S.Sudjoyono, Otto Djaya dan Basoeki Resobawo.
Di masa revolusi Bosoeki Abdullah
tidak berada di tanah air yang sampai sekarang belum jelas apa yang melatar
belakangi hal tersebut. Jelasnya pada tanggal 6 September 1948 bertempat di
Belanda Amsterdam sewaktu penobatan Ratu Yuliana dimana diadakan sayembara
melukis, Basoeki Abdullah berhasil mengalahkan 87 pelukis Eropa dan berhasil
keluar sebagai pemenang, sejak itu pula dunia mulai mengenal Basoeki Abdullah,
putera Indonesia yang mengharumkan nama Indonesia. Selama di negeri Belanda
Basoeki Abdullah sering kali berkeliling Eropa dan berkesempatan pula
memperdalam seni lukis dengan menjelajahi Italia dan Perancis dimana banyak
bermukim para pelukis kelas Dunia.
Basoeki Abdullah terkenal sebagai
seorang pelukis potret, terutama melukis wanita-wanita cantik, keluarga
kerajaan dan kepala negara yang cenderung mempercantik atau memperindah
seseorang ketimbang wajah aslinya. Selain sebagai pelukis potret yang ulung,
diapun melukis pemandangan alam, fauna, flora, tema-tema perjuangan,
pembangunan dan sebagainya.
Basoeki Abdullah banyak mengadakan pameran tunggal baik di
dalam negeri maupun di luar negeri, antara lain karyanya pernah dipamerkan di
Bangkok - Thailand, Malaysia, Jepang, Belanda, Inggris, Portugal dan
negara-negara lain. Lebih kurang 22 negara yang pernah disinggahi untuk pameran
karya lukisanya. Hampir sebagian hidupnya dihabiskan di luar negeri diantaranya
beberapa tahun menetap di Thailand, dan sejak tahun 1974 Basoeki Abdullah
menetap di Jakarta, diangkat sebagai pelukis Istana Merdeka.
S. Sudjojono
Karya:
"Ngaso" by S. Sudjojono
BIOGRAFI
S. Sudjojono lahir di Kisaran,
Sumatera Utara 14 Desember 1913, dan wafat di Jakarta 25 Maret 1985.
Soedjojono lahir dari keluarga transmigran asal Pulau Jawa. Ayahnya,
Sindudarmo, adalah mantri kesehatan di perkebunan karet Kisaran, Sumatera
Utara, beristrikan seorang buruh perkebunan. Ia lalu dijadikan anak angkat oleh
seorang guru HIS, Yudhokusumo. Oleh bapak angkat inilah, Djon (nama
panggilannya) diajak ke Jakarta (waktu itu masih bernama Batavia) pada tahun
1925. Ia menamatkan HIS di Jakarta, lalu melanjutkan SMP di Bandung, dan
menyelesaikan SMA di Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta. Di Yogyakarta itulah
ia sempat belajar montir sebelum belajar melukis kepada R.M. Pringadie selama
beberapa bulan. Sewaktu di Jakarta, ia belajar kepada pelukis Jepang, Chioji
Yazaki.
S. Sudjojono sempat menjadi guru di
Taman Siswa seusai lulus dari Taman Guru di perguruan yang didirikan oleh Ki
Hajar Dewantara itu. Ia ditugaskan oleh Ki Hajar Dewantara untuk membuka
sekolah baru di Rogojampi, Banyuwangi, tahun 1931. Namun ia kemudian memutuskan
untuk menjadi pelukis. Pada tahun 1937, ia ikut pameran bersama pelukis Eropa
di Kunstkring Jakarya, Jakarta. Inilah awal namanya dikenal sebagai pelukis,
Pada tahun itu juga ia menjadi pionir mendirikan Persatuan Ahli Gambar
Indonesia (Persagi). Oleh karena itu, masa itu disebut sebagai tonggak awal
seni lukis modern berciri Indonesia. Ia sempat menjabat sebagai sekretaris dan
juru bicara Persagi. Selain sebagai pelukis, ia juga dikenal sebagai kritikus
seni rupa pertama di Indonesia.
Lukisanya memiliki karakter Goresan ekspresif dan sedikit
bertekstur, goresan dan sapuan bagai dituang begitu saja ke kanvas, pada
periode sebelum kemerdekaan, karya lukisan S.Sudjojono banyak bertema tentang
semangat perjuangan rakyat Indonesia dalam mengusir penjajahan Belanda, namun
setelah jaman kemerdekaan kemudian karya Lukisanya banyak bertema tentang
pemandangan Alam, Bunga, aktifitas kehidupan masayarakat, dan cerita budaya.
Michaelangelo Buonarroti
Atau nama lengkapnya
dalam bahasa Italia Michelangelo di Lodovico Buonarroti Simoni (dalam
bahasa Spanyol disebut Miguel Ángel; dalam bahasa Perancis disebut Michel-Ange,
kurang lebih memiliki arti Malaikat Mikail) (6 Maret, 1475 – 18 Februari, 1564)
ialah seorang pelukis, pemahat, pujangga, dan arsitek zaman Renaissance.
Ia terkenal untuk sumbangan studi anatomi di dalam Seni Rupa. Karyanya yang dianggap terbaik adalah Patung David, Pietà, dan Fresko di langit-langit Sistine’s Chapel.
Ia terkenal untuk sumbangan studi anatomi di dalam Seni Rupa. Karyanya yang dianggap terbaik adalah Patung David, Pietà, dan Fresko di langit-langit Sistine’s Chapel.
Karya:
Pelukis Dullah lahir di Solo,
Jawa Tengah, 17 September 1919, ia dikenal sebagai seorang pelukis
realis. Corak lukisannya realistik. Mempunyai kegemaran melukis portrait
(wajah) dan komposisi-komposisi yang menampilkan banyak orang (group). Diakui,
Dullah belajar melukis dari dua orang Gurunya yang sekaligus merupakan pelukis
ternama, yaitu S. Sudjojono dan Affandi. Meskipun demikian corak lukisannya
tidak pernah mempunyai persamaan dengan dua orang gurunya tersebut.
Pernah dikenal sebagai pelukis istana
selama 10 tahun sejak awal tahun 1950-an, dengan tugas merestorasi lukisan
(memperbaiki lukisan-lukisan yang rusak) dan menjadi bagian dalam penyusunan
buku koleksi lukisan Presiden Soekarno. Dullah juga dikenal sebagai pelukis
revolusi, karena dalam karya-karyanya banyak menyajikan lukisan dengan
tema-tema perjuangan selama masa mempertahankan kemerdekaan.
Pada waktu perang kemerdekaan II,
saat Yogyakarta diduduki oleh tentara Belanda pada 19 Desember 1949 hingga 29
Juni 1950, Dullah memimpin anak didiknya yang masih belum berumur 17 tahun
untuk melukis langsung peristiwa-peristiwa selama pendudukan Yogyakarta sebagai
usaha pendokumentasian sejarah perjuangan bangsa. Lukisan-lukisan yang
dihasilkan ketika itu diulas di surat-surat kabar, bahkan oleh Affandi dinilai
sebagai karya satu-satunya di dunia.
Dullah merupakan salah seorang
pelukis realis yang jarang berpameran. Tapi pamerannya bersama anak-anaknya di
Gedung Agung (Istana Kepresidenan Yogya) tahun 1978, berhasil menarik puluhan
ribu orang. Meskipun pameran diperpanjang satu hari, pintu gerbang Gedung Agung
bagian Utara sempat pula jebol. Pameran itu dilanjutkan 20 Desember 1979 hingga
2 Januari 1980, di Aldiron Plaza, Jakarta. Banyak orang kecewa karena ia tak
menjual lukisannya.
Bagi Dullah, melukis adalah media
untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Dullah termasuk pendiri Himpunan Budaya
Surakarta (HBS). Kemudian didirikannya sebuah sanggar di Pejeng, Bali. Pada
setiap pameran baik didalam atau diluar negeri, karya murid-muridnya ikut
disertakan.
Ia juga menulis sajak, beberapa
sajaknya dimuat dalam bunga rampai sastra Indonesia yang di himpun oleh H.B
Jassin. Pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan terbit dalam sebuah
kumpulan di Pakistan. Sebuah puisinya yang berjudul Anak Rakyat ditulis tahun
1943 dan dimuat dalam Gema Tanah Air, barangkali sudah mengisyaratkan
kegandrungannya kepada tema perjuangan dalam lukisan-lukisannya. Dullah
mendirikan museum pribadi di Solo pada tahun 70-an, dan hingga kini museum
tersebut masih representatif dan dikelola oleh pemerintah Kotamadya Surakarta.
Banyak lukisan-lukisannya yang
menjadi koleksi pejabat-pejabat penting pemerintahan, kolektor seni baik dalam
maupun luar negeri, tokoh masayarakat dan orang terkemuka, diantaranya Presiden
pertama RI Soekarno, Wakil Presiden pertama RI Muhammad Hatta, Adam Malik,
mantan Presiden Amerika Serikat Eisenhower, mantan Wakil Presiden Amerika
Serikat Walter Mondale, mantan Perdana Menteri Australia Rudolf Menzies dan museum
seni lukis di Ceko.
"Didepan
pura" by Dullah
Raden Salih
Karya:
Raden
Saleh lahir di Semarang tahun 1807 – meninggal di Bogor pada tahun 1880.
Raden Saleh dilahirkan dalam sebuah keluarga Jawa ningrat. Dia adalah cucu dari Sayyid Abdoellah Boestaman dari sisi ibunya. Ayahnya adalah Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal bin Jahja, seorang keturunan Arab.Ibunya bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen, tinggal di daerah Terboyo, dekat Semarang. Sejak usia 10 tahun, ia diserahkan pamannya, Bupati Semarang, kepada orang-orang Belanda atasannya di Batavia. Kegemaran menggambar mulai menonjol sewaktu bersekolah di sekolah rakyat (Volks-School).
Keramahannya bergaul memudahkannya masuk ke lingkungan orang Belanda dan lembaga-lembaga elite Hindia-Belanda. Seorang kenalannya, Prof. Caspar Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa dan pulau sekitarnya, menilainya pantas mendapat ikatan dinas di departemennya. Kebetulan di instansi itu ada pelukis keturunan Belgia, A.A.J. Payen yang didatangkan dari Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di Pulau Jawa untuk hiasan kantor Departemen van Kolonieen di Belanda. Payen tertarik pada bakat Raden Saleh dan berinisiatif memberikan bimbingan.
Payen memang tidak menonjol di kalangan ahli seni lukis di Belanda, namun mantan mahaguru Akademi Senirupa di Doornik, Belanda, ini cukup membantu Raden Saleh mendalami seni lukis Barat dan belajar teknik pembuatannya, misalnya melukis dengan cat minyak. Payen juga mengajak pemuda Saleh dalam perjalanan dinas keliling Jawa mencari model pemandangan untuk lukisan. Ia pun menugaskan Raden Saleh menggambar tipe-tipe orang Indonesia di daerah yang disinggahi.
Terkesan dengan bakat luar biasa anak didiknya, Payen mengusulkan agar Raden Saleh bisa belajar ke Belanda. Usul ini didukung oleh Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen yang memerintah waktu itu (1819-1826), setelah ia melihat karya Raden Saleh.
Tahun 1829, nyaris bersamaan dengan patahnya perlawanan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock, Capellen membiayai Saleh belajar ke Belanda. Namun, keberangkatannya itu menyandang misi lain. Dalam surat seorang pejabat tinggi Belanda untuk Departemen van Kolonieen tertulis, selama perjalanan ke Belanda Raden Saleh bertugas mengajari Inspektur Keuangan Belanda de Linge tentang adat-istiadat dan kebiasaan orang Jawa, Bahasa Jawa, dan Bahasa Melayu. Ini menunjukkan kecakapan lain Raden Saleh.
Semasa belajar di Belanda keterampilannya berkembang pesat. Wajar ia dianggap saingan berat sesama pelukis muda Belanda yang sedang belajar. Para pelukis muda itu mulai melukis bunga. Lukisan bunga yang sangat mirip aslinya itu pun diperlihatkan ke Raden Saleh. Terbukti, beberapa kumbang serta kupu-kupu terkecoh untuk hinggap di atasnya. Seketika keluar berbagai kalimat ejekan dan cemooh. Merasa panas dan terhina, diam-diam Raden saleh menyingkir.
Ketakmunculannya selama berhari-hari membuat teman-temannya cemas. Muncul praduga, pelukis Indonesia itu berbuat nekad karena putus asa. Segera mereka ke rumahnya dan pintu rumahnya terkunci dari dalam. Pintu pun dibuka paksa dengan didobrak. Tiba-tiba mereka saling jerit. "Mayat Raden Saleh" terkapar di lantai berlumuran darah. Dalam suasana panik Raden Saleh muncul dari balik pintu lain. "Lukisan kalian hanya mengelabui kumbang dan kupu-kupu, tetapi gambar saya bisa menipu manusia", ujarnya tersenyum. Para pelukis muda Belanda itu pun kemudian pergi.
Itulah salah satu pengalaman menarik Raden Saleh sebagai cermin kemampuannya. Dua tahun pertama ia pakai untuk memperdalam bahasa Belanda dan belajar teknik mencetak menggunakan batu. Sedangkan soal melukis, selama lima tahun pertama, ia belajar melukis potret dari Cornelis Kruseman dan tema pemandangan dari Andries Schelfhout karena karya mereka memenuhi selera dan mutu rasa seni orang Belanda saat itu. Krusseman adalah pelukis istana yang kerap menerima pesanan pemerintah Belanda dan keluarga kerajaan.
Raden Saleh makin mantap memilih seni lukis sebagai jalur hidup. Ia mulai dikenal, malah berkesempatan berpameran di Den Haag dan Amsterdam. Melihat lukisan Raden Saleh, masyarakat Belanda terperangah. Mereka tidak menyangka seorang pelukis muda dari Hindia dapat menguasai teknik dan menangkap watak seni lukis Barat.
Saat masa belajar di Belanda usai, Raden Saleh mengajukan permohonan agar boleh tinggal lebih lama untuk belajar "wis-, land-, meet- en werktuigkunde (ilmu pasti, ukur tanah, dan pesawat), selain melukis. Dalam perundingan antara Menteri Jajahan, Raja Willem I (1772-1843), dan pemerintah Hindia Belanda, ia boleh menangguhkan kepulangan ke Indonesia. Tapi beasiswa dari kas pemerintah Belanda dihentikan.
Saat pemerintahan Raja Willem II (1792-1849) ia mendapat dukungan serupa. Beberapa tahun kemudian ia dikirim ke luar negeri untuk menambah ilmu, misalnya Dresden, Jerman. Di sini ia tinggal selama lima tahun dengan status tamu kehormatan Kerajaan Jerman, dan diteruskan ke Weimar, Jerman (1843). Ia kembali ke Belanda tahun 1844. Selanjutnya ia menjadi pelukis istana kerajaan Belanda.
Wawasan seninya pun makin berkembang seiring kekaguman pada karya tokoh romantisme Ferdinand Victor Eugene Delacroix (1798-1863), pelukis Perancis legendaris. Ia pun terjun ke dunia pelukisan hewan yang dipertemukan dengan sifat agresif manusia. Mulailah pengembaraannya ke banyak tempat, untuk menghayati unsur-unsur dramatika yang ia cari.
Saat di Eropa, ia menjadi saksi mata revolusi Februari 1848 di Paris, yang mau tak mau memengaruhi dirinya. Dari Perancis ia bersama pelukis Prancis kenamaan, Horace Vernet, ke Aljazair untuk tinggal selama beberapa bulan pada tahun 1846. Di kawasan inilah lahir ilham untuk melukis kehidupan satwa di padang pasir. Pengamatannya itu membuahkan sejumlah lukisan perkelahian satwa buas dalam bentuk pigura-pigura besar. Negeri lain yang ia kunjungi: Austria dan Italia. Pengembaraan di Eropa berakhir tahun 1851 ketika ia pulang ke Hindia bersama istrinya, wanita Belanda yang kaya raya.
Tak banyak catatan sepulangnya di Hindia. Ia dipercaya menjadi konservator pada "Lembaga Kumpulan Koleksi Benda-benda Seni". Beberapa lukisan potret keluarga keraton dan pemandangan menunjukkan ia tetap berkarya. Yang lain, ia bercerai dengan istri terdahulu lalu menikahi gadis keluarga ningrat keturunan Keraton Solo.
Di Batavia ia tinggal di rumah di sekitar Cikini. Gedungnya dibangun sendiri menurut teknik sesuai dengan tugasnya sebagai seorang pelukis. Sebagai tanda cinta terhadap alam dan isinya, ia menyerahkan sebagian dari halamannya yang sangat luas pada pengurus kebun binatang. Kini kebun binatang itu menjadi Taman Ismail Marzuki. Sementara rumahnya menjadi Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta.
Tahun 1875 ia berangkat lagi ke Eropa bersama istrinya dan baru kembali ke Jawa tahun 1878. Selanjutnya, ia menetap di Bogor sampai wafatnya pada 23 April 1880 siang hari, konon karena diracuni pembantu yang dituduh mencuri lukisannya. Namun dokter membuktikan, ia meninggal karena trombosis atau pembekuan darah.
Tertulis pada nisan makamnya di Bondongan, Bogor, "Raden Saleh Djoeroegambar dari Sri Padoeka Kandjeng Radja Wolanda". Kalimat di nisan itulah yang sering melahirkan banyak tafsir yang memancing perdebatan berkepanjangan tentang visi kebangsaan Raden Saleh.
Tokoh romantisme Delacroix dinilai memengaruhi karya-karya berikut Raden Saleh yang jelas menampilkan keyakinan romantismenya. Saat romantisme berkembang di Eropa di awal abad 19, Raden Saleh tinggal dan berkarya di Perancis (1844 - 1851).
Ciri romantisme muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh yang mengandung paradoks. Gambaran keagungan sekaligus kekejaman, cerminan harapan (religiusitas) sekaligus ketidakpastian takdir (dalam realitas). Ekspresi yang dirintis pelukis Perancis Gerricault (1791-1824) dan Delacroix ini diungkapkan dalam suasana dramatis yang mencekam, lukisan kecoklatan yang membuang warna abu-abu, dan ketegangan kritis antara hidup dan mati.
Lukisan-lukisannya yang dengan jelas menampilkan ekspresi ini adalah bukti Raden Saleh seorang romantisis. Konon, melalui karyanya ia menyindir nafsu manusia yang terus mengusik makhluk lain. Misalnya dengan berburu singa, rusa, banteng, dll. Raden Saleh terkesan tak hanya menyerap pendidikan Barat tetapi juga mencernanya untuk menyikapi realitas di hadapannya. Kesan kuat lainnya adalah Raden Saleh percaya pada idealisme kebebasan dan kemerdekaan, maka ia menentang penindasan.
Wajar bila muncul pendapat, meski menjadi pelukis kerajaan Belanda, ia tak sungkan mengkritik politik represif pemerintah Hindia Belanda. Ini diwujudkannya dalam lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro.
Meski serupa dengan karya Nicolaas Pieneman, ia memberi interpretasi yang berbeda. Lukisan Pieneman menekankan peristiwa menyerahnya Pangeran Diponegoro yang berdiri dengan wajah letih dan dua tangan terbentang. Hamparan senjata berupa sekumpulan tombak adalah tanda kalah perang. Di latar belakang Jenderal de Kock berdiri berkacak pinggang menunjuk kereta tahanan seolah memerintahkan penahanan Diponegoro.
Berbeda dengan versi Raden Saleh, di lukisan yang selesai dibuat tahun 1857 itu pengikutnya tak membawa senjata. Keris di pinggang, ciri khas Diponegoro, pun tak ada. Ini menunjukkan, peristiwa itu terjadi di bulan Ramadhan. Maknanya, Pangeran dan pengikutnya datang dengan niat baik. Namun, perundingan gagal. Diponegoro ditangkap dengan mudah, karena Jenderal de Kock tahu musuhnya tak siap berperang di bulan Ramadhan. Di lukisan itu Pangeran Diponegoro tetap digambarkan berdiri dalam pose siaga yang tegang. Wajahnya yang bergaris keras tampak menahan marah, tangan kirinya yang mengepal menggenggam tasbih.
Lukisan tentang peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Jendral De Cock pada tahun 1830 yang terjadi di rumah kediaman Residen Magelang. Dalam lukisan itu tampak Raden Saleh menggambarkan dirinya sendiri dengan sikap menghormat menyaksikan suasana tragis tersebut bersama-sama pengikut Pangeran Diponegoro yang lain. Jendral De Kock pun kelihatan sangat segan dan menghormat mengantarkan Pangeran Diponegoro menuju kereta yang akan membawa beliau ke tempat pembuangan.
Pada saat penangkapan itu, beliau berada di Belanda. Setelah puluhan tahun kemudian kembali ke Indonesia dan mencari informasi mengenai peristiwa tersebut dari kerabat Pangeran Diponegoro. Dari usaha dan karya tersebut, tidaklah terlalu berlebihan bila beliau mendapat predikat sebagai Pahlawan Bangsa. Akhirnya, reputasi karya yang ditunjukkan oleh prestasi artistiknya, membuat Raden Saleh dikenang dengan rasa bangga.
Dari beberapa yang masih ada, salah satunya lukisan kepala seekor singa, kini tersimpan dengan baik di Istana Mangkunegaran, Solo. Lukisan ini dulu dibeli seharga 1.500 gulden. Berapa nilainya sekarang mungkin susah-susah gampang menghitungnya. Sekadar perbandingan, salah satu lukisannya yang berukuran besar, Berburu Rusa, tahun 1996 terjual di Balai Lelang Christie's Singapura seharga Rp 5,5 miliar.
Tahun 1883, untuk memperingati tiga tahun wafatnya diadakan pameran-pameran lukisannya di Amsterdam, di antaranya yang berjudul Hutan Terbakar, Berburu Kerbau di Jawa, dan Penangkapan Pangeran Diponegoro. Lukisan-lukisan itu dikirimkan antara lain oleh Raja Willem III dan Ernst dari Sachsen-Coburg-Gotha.
Memang banyak orang kaya dan pejabat Belanda, Belgia, serta Jerman yang mengagumi pelukis yang semasa di mancanegara tampil unik dengan berpakaian adat ningrat Jawa lengkap dengan blangkon. Di antara mereka adalah bangsawan Sachsen Coburg-Gotha, keluarga Ratu Victoria, dan sejumlah gubernur jenderal seperti Johannes van den Bosch, Jean Chrétien Baud, dan Herman Willem Daendels.
Tak sedikit pula yang menganugerahinya tanda penghargaan, yang kemudian selalu ia sematkan di dada. Di antaranya, bintang Ridder der Orde van de Eikenkoon (R.E.K.), Commandeur met de ster der Frans Joseph Orde (C.F.J.), Ksatria Orde Mahkota Prusia (R.K.P.), Ridder van de Witte Valk (R.W.V.), dll.
Sedangkan penghargaan dari pemerintah Indonesia diberikan tahun 1969 lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, secara anumerta berupa Piagam Anugerah Seni sebagai Perintis Seni Lukis di Indonesia. Wujud perhatian lain adalah, pembangunan ulang makamnya di Bogor yang dilakukan oleh Ir. Silaban atas perintah Presiden Soekarno, sejumlah lukisannya dipakai untuk ilustrasi benda berharga negara, misalnya akhir tahun 1967, PTT mengeluarkan perangko seri Raden Saleh dengan reproduksi dua lukisannya bergambar binatang buas yang sedang berkelahi.
Berkat Raden Saleh, Indonesia boleh berbangga melihat karya anak bangsa menerobos museum akbar seperti Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda, dan dipamerkan di museum bergengsi Louvre, Paris, Perancis.
Raden Saleh dilahirkan dalam sebuah keluarga Jawa ningrat. Dia adalah cucu dari Sayyid Abdoellah Boestaman dari sisi ibunya. Ayahnya adalah Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal bin Jahja, seorang keturunan Arab.Ibunya bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen, tinggal di daerah Terboyo, dekat Semarang. Sejak usia 10 tahun, ia diserahkan pamannya, Bupati Semarang, kepada orang-orang Belanda atasannya di Batavia. Kegemaran menggambar mulai menonjol sewaktu bersekolah di sekolah rakyat (Volks-School).
Keramahannya bergaul memudahkannya masuk ke lingkungan orang Belanda dan lembaga-lembaga elite Hindia-Belanda. Seorang kenalannya, Prof. Caspar Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa dan pulau sekitarnya, menilainya pantas mendapat ikatan dinas di departemennya. Kebetulan di instansi itu ada pelukis keturunan Belgia, A.A.J. Payen yang didatangkan dari Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di Pulau Jawa untuk hiasan kantor Departemen van Kolonieen di Belanda. Payen tertarik pada bakat Raden Saleh dan berinisiatif memberikan bimbingan.
Payen memang tidak menonjol di kalangan ahli seni lukis di Belanda, namun mantan mahaguru Akademi Senirupa di Doornik, Belanda, ini cukup membantu Raden Saleh mendalami seni lukis Barat dan belajar teknik pembuatannya, misalnya melukis dengan cat minyak. Payen juga mengajak pemuda Saleh dalam perjalanan dinas keliling Jawa mencari model pemandangan untuk lukisan. Ia pun menugaskan Raden Saleh menggambar tipe-tipe orang Indonesia di daerah yang disinggahi.
Terkesan dengan bakat luar biasa anak didiknya, Payen mengusulkan agar Raden Saleh bisa belajar ke Belanda. Usul ini didukung oleh Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen yang memerintah waktu itu (1819-1826), setelah ia melihat karya Raden Saleh.
Tahun 1829, nyaris bersamaan dengan patahnya perlawanan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal Hendrik Merkus de Kock, Capellen membiayai Saleh belajar ke Belanda. Namun, keberangkatannya itu menyandang misi lain. Dalam surat seorang pejabat tinggi Belanda untuk Departemen van Kolonieen tertulis, selama perjalanan ke Belanda Raden Saleh bertugas mengajari Inspektur Keuangan Belanda de Linge tentang adat-istiadat dan kebiasaan orang Jawa, Bahasa Jawa, dan Bahasa Melayu. Ini menunjukkan kecakapan lain Raden Saleh.
Semasa belajar di Belanda keterampilannya berkembang pesat. Wajar ia dianggap saingan berat sesama pelukis muda Belanda yang sedang belajar. Para pelukis muda itu mulai melukis bunga. Lukisan bunga yang sangat mirip aslinya itu pun diperlihatkan ke Raden Saleh. Terbukti, beberapa kumbang serta kupu-kupu terkecoh untuk hinggap di atasnya. Seketika keluar berbagai kalimat ejekan dan cemooh. Merasa panas dan terhina, diam-diam Raden saleh menyingkir.
Ketakmunculannya selama berhari-hari membuat teman-temannya cemas. Muncul praduga, pelukis Indonesia itu berbuat nekad karena putus asa. Segera mereka ke rumahnya dan pintu rumahnya terkunci dari dalam. Pintu pun dibuka paksa dengan didobrak. Tiba-tiba mereka saling jerit. "Mayat Raden Saleh" terkapar di lantai berlumuran darah. Dalam suasana panik Raden Saleh muncul dari balik pintu lain. "Lukisan kalian hanya mengelabui kumbang dan kupu-kupu, tetapi gambar saya bisa menipu manusia", ujarnya tersenyum. Para pelukis muda Belanda itu pun kemudian pergi.
Itulah salah satu pengalaman menarik Raden Saleh sebagai cermin kemampuannya. Dua tahun pertama ia pakai untuk memperdalam bahasa Belanda dan belajar teknik mencetak menggunakan batu. Sedangkan soal melukis, selama lima tahun pertama, ia belajar melukis potret dari Cornelis Kruseman dan tema pemandangan dari Andries Schelfhout karena karya mereka memenuhi selera dan mutu rasa seni orang Belanda saat itu. Krusseman adalah pelukis istana yang kerap menerima pesanan pemerintah Belanda dan keluarga kerajaan.
Raden Saleh makin mantap memilih seni lukis sebagai jalur hidup. Ia mulai dikenal, malah berkesempatan berpameran di Den Haag dan Amsterdam. Melihat lukisan Raden Saleh, masyarakat Belanda terperangah. Mereka tidak menyangka seorang pelukis muda dari Hindia dapat menguasai teknik dan menangkap watak seni lukis Barat.
Saat masa belajar di Belanda usai, Raden Saleh mengajukan permohonan agar boleh tinggal lebih lama untuk belajar "wis-, land-, meet- en werktuigkunde (ilmu pasti, ukur tanah, dan pesawat), selain melukis. Dalam perundingan antara Menteri Jajahan, Raja Willem I (1772-1843), dan pemerintah Hindia Belanda, ia boleh menangguhkan kepulangan ke Indonesia. Tapi beasiswa dari kas pemerintah Belanda dihentikan.
Saat pemerintahan Raja Willem II (1792-1849) ia mendapat dukungan serupa. Beberapa tahun kemudian ia dikirim ke luar negeri untuk menambah ilmu, misalnya Dresden, Jerman. Di sini ia tinggal selama lima tahun dengan status tamu kehormatan Kerajaan Jerman, dan diteruskan ke Weimar, Jerman (1843). Ia kembali ke Belanda tahun 1844. Selanjutnya ia menjadi pelukis istana kerajaan Belanda.
Wawasan seninya pun makin berkembang seiring kekaguman pada karya tokoh romantisme Ferdinand Victor Eugene Delacroix (1798-1863), pelukis Perancis legendaris. Ia pun terjun ke dunia pelukisan hewan yang dipertemukan dengan sifat agresif manusia. Mulailah pengembaraannya ke banyak tempat, untuk menghayati unsur-unsur dramatika yang ia cari.
Saat di Eropa, ia menjadi saksi mata revolusi Februari 1848 di Paris, yang mau tak mau memengaruhi dirinya. Dari Perancis ia bersama pelukis Prancis kenamaan, Horace Vernet, ke Aljazair untuk tinggal selama beberapa bulan pada tahun 1846. Di kawasan inilah lahir ilham untuk melukis kehidupan satwa di padang pasir. Pengamatannya itu membuahkan sejumlah lukisan perkelahian satwa buas dalam bentuk pigura-pigura besar. Negeri lain yang ia kunjungi: Austria dan Italia. Pengembaraan di Eropa berakhir tahun 1851 ketika ia pulang ke Hindia bersama istrinya, wanita Belanda yang kaya raya.
Tak banyak catatan sepulangnya di Hindia. Ia dipercaya menjadi konservator pada "Lembaga Kumpulan Koleksi Benda-benda Seni". Beberapa lukisan potret keluarga keraton dan pemandangan menunjukkan ia tetap berkarya. Yang lain, ia bercerai dengan istri terdahulu lalu menikahi gadis keluarga ningrat keturunan Keraton Solo.
Di Batavia ia tinggal di rumah di sekitar Cikini. Gedungnya dibangun sendiri menurut teknik sesuai dengan tugasnya sebagai seorang pelukis. Sebagai tanda cinta terhadap alam dan isinya, ia menyerahkan sebagian dari halamannya yang sangat luas pada pengurus kebun binatang. Kini kebun binatang itu menjadi Taman Ismail Marzuki. Sementara rumahnya menjadi Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta.
Tahun 1875 ia berangkat lagi ke Eropa bersama istrinya dan baru kembali ke Jawa tahun 1878. Selanjutnya, ia menetap di Bogor sampai wafatnya pada 23 April 1880 siang hari, konon karena diracuni pembantu yang dituduh mencuri lukisannya. Namun dokter membuktikan, ia meninggal karena trombosis atau pembekuan darah.
Tertulis pada nisan makamnya di Bondongan, Bogor, "Raden Saleh Djoeroegambar dari Sri Padoeka Kandjeng Radja Wolanda". Kalimat di nisan itulah yang sering melahirkan banyak tafsir yang memancing perdebatan berkepanjangan tentang visi kebangsaan Raden Saleh.
Tokoh romantisme Delacroix dinilai memengaruhi karya-karya berikut Raden Saleh yang jelas menampilkan keyakinan romantismenya. Saat romantisme berkembang di Eropa di awal abad 19, Raden Saleh tinggal dan berkarya di Perancis (1844 - 1851).
Ciri romantisme muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh yang mengandung paradoks. Gambaran keagungan sekaligus kekejaman, cerminan harapan (religiusitas) sekaligus ketidakpastian takdir (dalam realitas). Ekspresi yang dirintis pelukis Perancis Gerricault (1791-1824) dan Delacroix ini diungkapkan dalam suasana dramatis yang mencekam, lukisan kecoklatan yang membuang warna abu-abu, dan ketegangan kritis antara hidup dan mati.
Lukisan-lukisannya yang dengan jelas menampilkan ekspresi ini adalah bukti Raden Saleh seorang romantisis. Konon, melalui karyanya ia menyindir nafsu manusia yang terus mengusik makhluk lain. Misalnya dengan berburu singa, rusa, banteng, dll. Raden Saleh terkesan tak hanya menyerap pendidikan Barat tetapi juga mencernanya untuk menyikapi realitas di hadapannya. Kesan kuat lainnya adalah Raden Saleh percaya pada idealisme kebebasan dan kemerdekaan, maka ia menentang penindasan.
Wajar bila muncul pendapat, meski menjadi pelukis kerajaan Belanda, ia tak sungkan mengkritik politik represif pemerintah Hindia Belanda. Ini diwujudkannya dalam lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro.
Meski serupa dengan karya Nicolaas Pieneman, ia memberi interpretasi yang berbeda. Lukisan Pieneman menekankan peristiwa menyerahnya Pangeran Diponegoro yang berdiri dengan wajah letih dan dua tangan terbentang. Hamparan senjata berupa sekumpulan tombak adalah tanda kalah perang. Di latar belakang Jenderal de Kock berdiri berkacak pinggang menunjuk kereta tahanan seolah memerintahkan penahanan Diponegoro.
Berbeda dengan versi Raden Saleh, di lukisan yang selesai dibuat tahun 1857 itu pengikutnya tak membawa senjata. Keris di pinggang, ciri khas Diponegoro, pun tak ada. Ini menunjukkan, peristiwa itu terjadi di bulan Ramadhan. Maknanya, Pangeran dan pengikutnya datang dengan niat baik. Namun, perundingan gagal. Diponegoro ditangkap dengan mudah, karena Jenderal de Kock tahu musuhnya tak siap berperang di bulan Ramadhan. Di lukisan itu Pangeran Diponegoro tetap digambarkan berdiri dalam pose siaga yang tegang. Wajahnya yang bergaris keras tampak menahan marah, tangan kirinya yang mengepal menggenggam tasbih.
Lukisan tentang peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Jendral De Cock pada tahun 1830 yang terjadi di rumah kediaman Residen Magelang. Dalam lukisan itu tampak Raden Saleh menggambarkan dirinya sendiri dengan sikap menghormat menyaksikan suasana tragis tersebut bersama-sama pengikut Pangeran Diponegoro yang lain. Jendral De Kock pun kelihatan sangat segan dan menghormat mengantarkan Pangeran Diponegoro menuju kereta yang akan membawa beliau ke tempat pembuangan.
Pada saat penangkapan itu, beliau berada di Belanda. Setelah puluhan tahun kemudian kembali ke Indonesia dan mencari informasi mengenai peristiwa tersebut dari kerabat Pangeran Diponegoro. Dari usaha dan karya tersebut, tidaklah terlalu berlebihan bila beliau mendapat predikat sebagai Pahlawan Bangsa. Akhirnya, reputasi karya yang ditunjukkan oleh prestasi artistiknya, membuat Raden Saleh dikenang dengan rasa bangga.
Dari beberapa yang masih ada, salah satunya lukisan kepala seekor singa, kini tersimpan dengan baik di Istana Mangkunegaran, Solo. Lukisan ini dulu dibeli seharga 1.500 gulden. Berapa nilainya sekarang mungkin susah-susah gampang menghitungnya. Sekadar perbandingan, salah satu lukisannya yang berukuran besar, Berburu Rusa, tahun 1996 terjual di Balai Lelang Christie's Singapura seharga Rp 5,5 miliar.
Tahun 1883, untuk memperingati tiga tahun wafatnya diadakan pameran-pameran lukisannya di Amsterdam, di antaranya yang berjudul Hutan Terbakar, Berburu Kerbau di Jawa, dan Penangkapan Pangeran Diponegoro. Lukisan-lukisan itu dikirimkan antara lain oleh Raja Willem III dan Ernst dari Sachsen-Coburg-Gotha.
Memang banyak orang kaya dan pejabat Belanda, Belgia, serta Jerman yang mengagumi pelukis yang semasa di mancanegara tampil unik dengan berpakaian adat ningrat Jawa lengkap dengan blangkon. Di antara mereka adalah bangsawan Sachsen Coburg-Gotha, keluarga Ratu Victoria, dan sejumlah gubernur jenderal seperti Johannes van den Bosch, Jean Chrétien Baud, dan Herman Willem Daendels.
Tak sedikit pula yang menganugerahinya tanda penghargaan, yang kemudian selalu ia sematkan di dada. Di antaranya, bintang Ridder der Orde van de Eikenkoon (R.E.K.), Commandeur met de ster der Frans Joseph Orde (C.F.J.), Ksatria Orde Mahkota Prusia (R.K.P.), Ridder van de Witte Valk (R.W.V.), dll.
Sedangkan penghargaan dari pemerintah Indonesia diberikan tahun 1969 lewat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, secara anumerta berupa Piagam Anugerah Seni sebagai Perintis Seni Lukis di Indonesia. Wujud perhatian lain adalah, pembangunan ulang makamnya di Bogor yang dilakukan oleh Ir. Silaban atas perintah Presiden Soekarno, sejumlah lukisannya dipakai untuk ilustrasi benda berharga negara, misalnya akhir tahun 1967, PTT mengeluarkan perangko seri Raden Saleh dengan reproduksi dua lukisannya bergambar binatang buas yang sedang berkelahi.
Berkat Raden Saleh, Indonesia boleh berbangga melihat karya anak bangsa menerobos museum akbar seperti Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda, dan dipamerkan di museum bergengsi Louvre, Paris, Perancis.
Rembrandt Harmenszoon van Rijn
(15 Juli 1606 – 4
Oktober 1669) adalah pelukis Belanda yang merupakan salah satu pelukis terbesar
dalam sejarah seni Eropa. Rembrandt dikenal dengan keahliannya memanipulasi
ekspos cahaya terhadap objek sehingga memberikan efek tertentu di dalam lukisan.
Rembrandt juga sering membuat karya-karya grafis dan gambar. Kontribusinya yang besar terhadap seni rupa terjadi pada era keemasan Belanda (sekitar abad 17)
Rembrandt juga sering membuat karya-karya grafis dan gambar. Kontribusinya yang besar terhadap seni rupa terjadi pada era keemasan Belanda (sekitar abad 17)
Karya:
Hendra Gunawan
"Mencari
kutu rambut" by Hendra Gunawan.
Hendra Gunawan lahir di Bandung,
Jawa Barat pada tahun 1918, dan Wafat di Denpasar, Bali. 17 Juli 1983.
Hendra Gunawan adalah seorang
pelukis, penyair, pematung dan pejuang gerilya. Selama masa mudanya ia
bergabung dengan tentara pelajar dan merupakan anggota aktif dari Poetera
(Pusat Tenaga Rakyat) dan organisasi yang dipimpin oleh Sukarno dan lain-lain.
Ia juga aktif dalam Persagi (Asosiasi Pelukis Indonesia, sebuah organisasi yang
didirikan oleh S. Soedjojono dan Agus Djaya pada tahun 1938.
Hendra Gunawan memiliki komitmen
dalam pandangan politiknya, mengabdikan hidupnya untuk memerangi kemiskinan,
ketidak adilan dan kolonialisme. Dia dipenjara di Kebon Waru atas
keterlibatannya di Institut Budaya Populer (Lekra), sebuah organisasi budaya
yang berafiliasi dengan komunis sekarang sudah tidak berfungsi, Partai
Indonesia (PKI). Penahanan Hendra Gunawan selama 13 Tahun dimulai pada tahun
1965 hingga tahun 1978. Selama di dalam penjara beliau tetap aktif berkarya
membuat lukisan bertema tentang kehidupan masyarakat pedesaan pada jamanya,
seperti: Panen Padi, berjualan buah, kehidupan nelayan, suasana panggung
tari-tarian, dll. Hampir disemua Lukisanya berlatar belakang alam.
Dengan talenta sebagai seorang
Pelukis senior dan memiliki karakter karya Lukisan yang khas, menjadikan
namanya masuk dalam daftar Pelukis Maestro Legendaris ternama Indonesia.
Karakter Lukisan beliau sangat berani dengan ekspresi
goresan cat tebal, dan ekspresi warna kontras apa adanya, karya Lukisanya
banyak dikoleksi oleh para kolektor dalam negeri. Perjalanan Aliran Lukisan
karya Hendra Gunawan pada awalnya adalah realism yang melukiskan tema-tema
tentang perjuangan sebelum kemerdekaan, namun setelah era kemerdekaan,
karya-karya lukisan ber metamorfosa kedalam aliran lukisan ekspresionism, tema-tema
lukisanya tentang sisi-sisi kehidupan masyarakat pedesaan.
Pelukis Jeihan
Sukmantoro lahir di Solo - Jawa Tengah, pada tanggal 26 September 1938. Ia
adalah seorang pelukis terkenal Indonesia, corak gaya lukisanya berkarakter
figuratif yang khas, hampir setiap obyek manusia di dalam lukisanya adalah
figur dengan mata hitam pekat, dengan warna-warna datar dan sederhana.
Secara filosofis, seolah Jeihan memadukan
alam mistik timur dengan alam analitis barat. Karyanya yang diam kukuh
mencitrakan suasana meditatif. Lebih dari 50 event pameran tunggalnya sudah
diselenggarakan di berbagai kota dalam dan luar negeri. Selain pameran tunggal,
Jeihan juga berpameran bersama para pelukis Indonesia lainnya di berbagai
tempat.
Berlatar belakang pendidikan ITB, telah memotivasi Jeihan pada sikap pribadi yang amat konsisten dan disiplin dalam mendedikasikan hidupnya pada bidang seni khususnya seni lukisan. Terbukti dengan karya-karya lukisan bernilai seni tinggi yang memiliki makna filosofis dalam, yang tergali dari setiap imajinasinya.
Berlatar belakang pendidikan ITB, telah memotivasi Jeihan pada sikap pribadi yang amat konsisten dan disiplin dalam mendedikasikan hidupnya pada bidang seni khususnya seni lukisan. Terbukti dengan karya-karya lukisan bernilai seni tinggi yang memiliki makna filosofis dalam, yang tergali dari setiap imajinasinya.
"Nuriah"
by Jeihan Sukmantoro
Lee
Man Fong (1913-1988) adalah seorang pelukis
Indonesia yang dilahirkan di Tiongkok. Dia dibesarkan dan mendapatkan
pendidikan di Singapura. Di sana dia belajar melukis dengan seorang pelukis
Lingnan, dan terakhir dengan seorang guru yang mengajarkannya lukisan cat minyak.
Pada tahun 1933 dia datang ke Indonesia dan tinggal selama 33 tahun. Pada masa
Perang Dunia II dia ditawan Jepang, kemudian setelah Indonesia merdeka, Lee man
fong didaulat menjadi pelukis istana Presiden Soekarno dan menjadi warga negara
Indonesia. Lukisan-lukisan Lee Man Fong diakui sebagai perintis pelukis Asia
Tenggara. Pada Tahun 1964 ia ditunjuk oleh Presiden Soekarno untuk membuat buku
yang berjudul "Lukisan-Lukisan dan Patung Koleksi Presiden Soekarno dari
Republik Indonesia" buku ini berisi seluruh karya-karya seni yang
dikoleksi Presiden Soekarno dan semuanya berjumlah 5 Volume, setiap volume
berisi sekitar 100 koleksi lukisan dari karya-karya pelukis Indonesia dan luar
negeri.
Lee man fong sendiri juga membuat
buku sendiri yang berisi kumpulan lukisannya, diterbitkan dalam buku Lee Man
Fong: Oil Paintings, volume I dan II dan diterbitkan oleh museum Art Retreat.
Buku ini ditulis oleh kritikus seni Indonesia Agus Dermawan T., sementara
seleksi karya dilakukan oleh Siont Tedja. Kedua buku yang keseluruhannya berisi
700 halaman ini berisi 471 lukisan pilihan koleksi banyak kolektor dari seluruh
Dunia.
Pada tahun 1966, karena kekacauan
politik di Indonesia, Lee Man Fong hijrah ke Singapura dan lama menetap di
sana, karena lama menetap di Singapura, dia bahkan dianggap sebagai pelukis
Singapura. Tahun 1988 ia meninggal di Puncak, Jawa Barat, karena sakit.
"Kebun
di dalam Rumah" by Lee Man Fong
Trubus
Soedarsono lahir di Wates - Yogyakarta, 23
April 1926. Trubus Soedarsono adalah seorang pelukis dan pematung yang belajar
secara otodidak. Berasal dari keluarga petani di Kabupaten Wates, Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY), Trubus tidak pernah tamat sekolah dasar. Namun
demikian Trubus di kemudian hari diangkat menjadi dosen ASRI.
Pada mulanya Trubus bekerja sebagai
pemberi makan kuda andong di Yogyakarta. Karena nampak berbakat melukis, Daud
Jusuf mendaftarkannya sebagai anggota sanggar SIM (Seniman Indonesia Muda).
Trubus yang berbakat terus mengembangkan kemampuan melukisnya di bawah asuhan
S. Sudjojono, Affandi, Hendra Gunawan. Trubus keluar dari SIM pada tahun 1947,
di saat yang sama di mana Hendra Gunawan mendirikan 'Pelukis Rakyat'. Trubus
mengubur kehidupannya yang miskin dalam tema-tema lukisannya yang serba indah,
seperti kembang sepatu, penari cantik, pemain piano, tafril lingkungan yang
asri. Beberapa karya Trubus juga menjadi koleksi Presiden Sukarno yang kemudian
dibukukan dalam buku koleksi, yaitu lukisan "Potret Wanita,"
"Putri Indonesia," dan patung batu berjudul "Gadis dan
Kodok."
Namun karena profesi pelukis pada
saat itu belum terhargai mahal, ia tetap saja miskin. Sehingga ketika pada
akhir tahun 1950-an Trubus mendengar bahwa di Bilangan Cideng, Jakarta, ada
studio seni lukis Tio Tek Djien ia pun bergabung. Di sini ia digaji Rp. 1000,-
sehari. Potensinya yang bagus menyebabkan Trubus diimbau bergabung dengan
Lekra, dengan janji Lekra akan memfasilitasi seluruh kebutuhan melukisnya.
Trubus menerima tawaran itu. Trubus sempat juga menjadi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah - DIY, mewakili fraksi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pasca kudeta Gerakan 30 September 1965, para anggota Lekra diburu lawan
politiknya. Trubus dikabarkan hilang pada tahun 1966, atau diduga mati terbunuh
di Yogyakarta.
"Puteri
Indonesia" by Trubus, Medium: Oil on Canvas, Size: 119,5cm x 89cm, Year:
1955
Sang Pelukis Maestro ini terkenal dengan ciri khas Lukisan
bertema kucing, dilukis dalam gaya ekspresionism bernuansa minimalis,
dengan tehnik cat tebal dan bertekstur. Salah satu alasan Popo Iskandar gemar
melukis kucing, seperti yang pernah beliau ucapkan semasa hidup “ Tabiat kucing
variatif, manja, binal dan buas, tapi penurut. Karena itu saya menyukainya”
katanya. Dia juga melukis tema-tema binatang lainya seperti ayam dan harimau.
Lukisan Popo Iskandar banyak dikoleksi dan sekaligus dijadikan
sebagai icon dalam rumah bergaya modern dan minimalis, karya-karya Lukisanya
banyak mendapatkan apresiasi dari para pengamat seni, baik dalam dan luar
negeri.
"Ayam"
by Popo Iskandar, Medium: Oil on canvas, Size: 48cm x 61cm, Year: 1995
*)
Auction: Masterpiece
Widayat lahir di Kutoarjo - Jawa
Tengah pada tahun 1923. Ia masuk Sekolah Dasar Belanda pada waktu itu namanya
H.I.S ( Hollands Inlandsche School ) sekolah untuk kaum pribumi dengan
pengantar bahasa Belanda. Setelah tamat tahun 1937 dari H.I.S. Trenggalek,
Widayat pindah ke Bandung untuk melanjutkan sekolahnya di Sekolah Kejuruan
Menengah yang tidak diselesaikan sampai tamat. Widayat mempunyai seorang kawan
yang kebetulan kakaknya pandai melukis, namanya Mulyono, dari Mulyono inilah
Widajat belajar melukis.
Salah satu Pelukis Maestro asal
Kutoarjo – Jawa Tengah, sebagian besar karya Lukisanya bertemakan Flora dan
Fauna, terinspirasi dari pengalamanya yang membekas pada Tahun 1939 saat beliau
pernah bekerja sebagai mantri opnamer ( juru ukur ) pada bidang kehutanan di
Palembang selama tiga Tahun, dari pengamatanya tentang alam, hewan dan tumbuhan
selama beliau bekerja itulah yang mengilhami sebagain besar karya Lukisanya
bertema tentang Alam, flora dan fauna dilukis dalam gaya batik kontemporer.
Kemudian, sejak Tahun 1949 Widayat mengasah talentanya di ASRI ( Akademi Seni
Rupa Indonesia ) Jogja, yang di kemudian hari didaulat untuk mengajar di
akademi seni rupa tersebut.
Pada tahun 1954, Widajat, Sayoga, G.
Sidharta, Murtibadi, Sukandar dan beberapa lainnya mendirikan Pelukis Indonesia
Muda (PIM). Perkumpulan tersebut merupakan sanggar lukis pertama yang
didirikan oleh para mahasiswa ASRI Yogyakarta. Widayat mendapat perhatian dan
dorongan beberapa dosennya, terutama Hendra Gunawan sebagai dosen praktek
melukis dan Kusnadi sebagai dosen Tinjauan Seni (Kritik Seni). Dari Kusnadi
pula Widayat mendapat rekomendasi untuk dikirim ke Jepang belajar keramik, seni
taman, seni grafis dan merangkai bunga ikebana. Widayat belajar di Jepang dari
tahun 1960 sampai tahun 1962.
Semasa hidupnya beliau sering
mengadakan pameran baik tunggal ataupun kelompok, di dalam dan luar negeri (
Italy, Kuwait dan Singapura ). Beberapa penghargaan dibidang seni pernah
disandangnya atas dedikasinya dalam bidang seni rupa, yaitu penghargaan dari
BMKN (Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional) di Yogyakarta tahun 1952 dengan
karyanya yang terbaik berjudul ‘ Kali Bawang’. Kemudian pada tahun 1972 ia
menerima Anugerah seni dari pemerintah RI sebagai pelukis kontemporer.
"Abstraksi
Dekora (03)" by Widajat, Size: 60cm x 68cm, Medium: Oil on canvas, Year:
2001
*)
Auction: Masterpiece
Rustamadji
dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 19 Januari 1921. Memulai karier
melukis sejak tahun 1938 yang ditempuh dengan cara belajar sendiri. Tahun 1942
- 1947, ia bermukim di kota Malang, Jawa Timur. Dalam tahun 1948 s/d 1955
tinggal di Yogyakarta dan bergabung dengan kawan-kawannya seperti S.
Soedjojono, Batara Lubis, Hendra Gunawan almarhum, Soedarso dan lainnya dalam
sebuah sanggar. Pada tahun 1952, bersama dengan kawan lainnya mengadakan
pameran keliling Indonesia atas sponsor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, kemudian tahun 1956 sampai dengan 1968 bersama keluarganya
bermukim di Jakarta.
Sejak tahun 1968 bersama keluarganya kembali hidup dan berkarya dikampungnya sendiri Klaten, Jawa Tengah hingga sekarang ini. Disamping melukis, juga membuat karya-karya patung, pada suatu ketika di tahun 1962 timbul inspirasinya untuk melukiskan bulan purnama, maka untuk keperluan itu dia mengasah batu membuat teropong bulan dengan cara yang sederhana maka kemudian bulan pun dilukisnya. Dalam proses melukis bulan itulah Rustamadji kemudian merasa sanggat dekat dengan Tuhan Yang Maha Kuasa seru sekalian alam semesta, yang telah melimpahkan rahmat, rezeki, nikmat, bakat sepanjang kehidupan. Sebagai perkembangan lebih lanjut maka tahun 1965-1971 dalam mendalami hidup, mengalami terbukanya hijab sehingga dia telah banyak menulis tentang ‘ketuhanan’ mencapai berjilid-jilid jumlah dalam bentuk stensilan atau cetakan yang sangat sederhana dan buku tersebut kemudian dibagikan kepada sahabat-sahabat dekatnya.
Salah satu karyanya yang berjudul ‘Pohon Nangka’ telah dikoleksi oleh Presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno, yang kemudian digantungkan dalam buku seni lukis Indonesia Koleksi Bung Karno pada penerbitan pertama edisi II. Lukisannya yang lain telah menjadi koleksi Adam Malik, Joop Ave, Yakob Utama serta kolektor lainnya. Karya-karya patung yang pernah dibuatnya antara lain ‘Hamengku Buwono IX’ dibuat dengan bahan batu gunung, merupakan patung besar yeng berukuran lebih kurang 0,75 x 120 cm, karya tersebut diserahkan kepada Museum Sono Budoyo Yogyakarta. Sebuah patung kecil ‘Potret Diri’ Direktorat Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang kemudian ditempatkan pada Museum seni rupa Fatahillah Jakarta.
Bersama rekan-rekan pematung lainnya, pernah menggarap karya monumental ‘Tugu Muda’ yang dikerjakan pada tahun 1953 di Semarang, kemudian mengerjakan bass relief dan patung di Museum Corp Polisi Militer di Jakarta pada tahun 1954. Dalam tahun 1958 mengerjakan patung ‘Wage Rudolf Soepratman’ dengan bahan batu, hingga kini patung tersebut masih terpasang di halaman Sekolah Musik Indonesia di Yogyakarta. Karya patung ‘Erlangga’ yang di buat pada tahun 1962 dengan bahan perunggu, hingga saat ini masih terpasang megah di halaman dalam Hotel Indonesia. Setelah selesai mengerjakan patung ‘Erlangga’ kesehatannya terganggu sehingga sanggat jarang keluar rumah yang menyebabkan hubungan dengan rekan-rekan seniman lainnya agak terganggu.
Kendati demikian dengan sisa tenaga dan kemampuan yang dimiliki dia terus melukis dengan tekun sekalipun tak pernah terbayang kemungkinan untuk mengadakan pameran. Satu demi satu karyanya diselesaikan kemudian dinikmatinya sendiri sebelum disimpan hingga mencapai jumlah 50 lukisan yang di buat dari bahan cat minyak diatas kanvas dalam berbagai ukuran kecil (40 x 50 cm) dan ukuran besar (210 x 390 cm). Selama hampir 23 tahun sejak tahun 1958 - 1981, Rustamadji seolah-olah hidupnya terasing dan terpencil agaknya terlepas dari barisan parade seni rupa Indonesia yang teramat riuh pertumbuhannya pada saat itu. Barulah pada bulan Agustus 1981. Muncul kembali dengan pameran tunggalnya yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki.
Sejak tahun 1968 bersama keluarganya kembali hidup dan berkarya dikampungnya sendiri Klaten, Jawa Tengah hingga sekarang ini. Disamping melukis, juga membuat karya-karya patung, pada suatu ketika di tahun 1962 timbul inspirasinya untuk melukiskan bulan purnama, maka untuk keperluan itu dia mengasah batu membuat teropong bulan dengan cara yang sederhana maka kemudian bulan pun dilukisnya. Dalam proses melukis bulan itulah Rustamadji kemudian merasa sanggat dekat dengan Tuhan Yang Maha Kuasa seru sekalian alam semesta, yang telah melimpahkan rahmat, rezeki, nikmat, bakat sepanjang kehidupan. Sebagai perkembangan lebih lanjut maka tahun 1965-1971 dalam mendalami hidup, mengalami terbukanya hijab sehingga dia telah banyak menulis tentang ‘ketuhanan’ mencapai berjilid-jilid jumlah dalam bentuk stensilan atau cetakan yang sangat sederhana dan buku tersebut kemudian dibagikan kepada sahabat-sahabat dekatnya.
Salah satu karyanya yang berjudul ‘Pohon Nangka’ telah dikoleksi oleh Presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir. Soekarno, yang kemudian digantungkan dalam buku seni lukis Indonesia Koleksi Bung Karno pada penerbitan pertama edisi II. Lukisannya yang lain telah menjadi koleksi Adam Malik, Joop Ave, Yakob Utama serta kolektor lainnya. Karya-karya patung yang pernah dibuatnya antara lain ‘Hamengku Buwono IX’ dibuat dengan bahan batu gunung, merupakan patung besar yeng berukuran lebih kurang 0,75 x 120 cm, karya tersebut diserahkan kepada Museum Sono Budoyo Yogyakarta. Sebuah patung kecil ‘Potret Diri’ Direktorat Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang kemudian ditempatkan pada Museum seni rupa Fatahillah Jakarta.
Bersama rekan-rekan pematung lainnya, pernah menggarap karya monumental ‘Tugu Muda’ yang dikerjakan pada tahun 1953 di Semarang, kemudian mengerjakan bass relief dan patung di Museum Corp Polisi Militer di Jakarta pada tahun 1954. Dalam tahun 1958 mengerjakan patung ‘Wage Rudolf Soepratman’ dengan bahan batu, hingga kini patung tersebut masih terpasang di halaman Sekolah Musik Indonesia di Yogyakarta. Karya patung ‘Erlangga’ yang di buat pada tahun 1962 dengan bahan perunggu, hingga saat ini masih terpasang megah di halaman dalam Hotel Indonesia. Setelah selesai mengerjakan patung ‘Erlangga’ kesehatannya terganggu sehingga sanggat jarang keluar rumah yang menyebabkan hubungan dengan rekan-rekan seniman lainnya agak terganggu.
Kendati demikian dengan sisa tenaga dan kemampuan yang dimiliki dia terus melukis dengan tekun sekalipun tak pernah terbayang kemungkinan untuk mengadakan pameran. Satu demi satu karyanya diselesaikan kemudian dinikmatinya sendiri sebelum disimpan hingga mencapai jumlah 50 lukisan yang di buat dari bahan cat minyak diatas kanvas dalam berbagai ukuran kecil (40 x 50 cm) dan ukuran besar (210 x 390 cm). Selama hampir 23 tahun sejak tahun 1958 - 1981, Rustamadji seolah-olah hidupnya terasing dan terpencil agaknya terlepas dari barisan parade seni rupa Indonesia yang teramat riuh pertumbuhannya pada saat itu. Barulah pada bulan Agustus 1981. Muncul kembali dengan pameran tunggalnya yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki.
"Kakek
dan Cucu" by Rustamadji, Size: 100cm x 70cm, Medium: oil on canvas, Year:
1984
Arie
Smith (Adianus Wilhelmus Smit) lahir
di Zaandam, Belanda pada tanggal 15 April 1916. Dia pertama kali berlajar
melukis pada sebuah akademi seni di Amsterdam. Tahun 1938 di datang ke Batavia
(Jakarta) sebagai seorang tentara dan bekerja pada landscape divisi. Dia
memperoleh kewarganegaraan Indonesia pada tahun 1951. Tahun 1956 dia berkunjung
ke Bali untuk pertama kalinya, dan akhirnya menetap di Bali.
Dia mendirikan aliran Young artist
di Penestanan, Ubud , Bali sekitar tahun 1960 an. Sampai umurnya 80 tahun yaitu
tahun 1996, dia telah pindah tempat lebih dari 30 kali dari satu tempat ke
tempat yang lain di Bali. Arie smit merupakan sosok seniman yang selalu mencari
ketenangan dan kejernihan dalam hidup, dan ia menyukai tempat yang sunyi. Sikap
personal ini sangat bertolak belakang dengan karya-karyanya yang hampir
semuanya kaya dengan warna yang terang dan cerah. Tema dari karya-karyanya
mengikuti alur jalan. Orang Bali menyebutnya "dari kaja ke Kelod"
(dari Gunung menuju laut). Atas jasa-jasanya bagi perkembangan seni di Bali,
Arie Smith menerima pernghargaan Dharma kusuma dari Gubernur Propinsi Bali pada
tahun 1992.
"Bunga
dan Patung" by Arie Smit
Walter
Spies, lahir di Moskwa 15 September 1895
– meninggal di Samudera Hindia, 19 Januari 1942 pada umur 46 tahun, ia
merupakan pelukis, perupa, dan juga pemusik. Ia adalah tokoh di belakang
modernisasi seni di Jawa dan Bali.
Walter Spies lahir sebagai anak
seorang peniaga kaya Jerman yang telah lama menetap di Moskwa. Semenjak muda ia
telah menggemari seni musik, seni lukis, dan seni rupa. Ia mengenal Rachmaninov
dan mengagumi Paul Gauguin seorang pelukis terkenal Dunia.
Selepas Perang Dunia I, Walter Spies
sempat tinggal beberapa lama di Berlin - Jerman dan berteman dengan sutradara
ternama masa itu, Friedrich Murnau. Kelak, Murnau-lah yang banyak membantu
Walter Spies secara finansial di perantauan. Di Jerman ia sudah cukup ternama
karena lukisan-lukisannya, namun ia merasa tidak kerasan karena sebagai
homoseksual ia selalu dicari-cari polisi.
Pada tahun 1923 ia datang ke Jawa
dan menetap pertama kali di Yogyakarta. Dia dipekerjakan oleh sultan Yogya
sebagai pianis istana dan diminta membantu kegiatan seni keraton. Walter Spies
lah yang pertama kali memperkenalkan notasi angka bagi gamelan di keraton
Yogyakarta. Notasi ini kemudian dikembangkan di kraton-kraton lain dan
digunakan hingga sekarang.
Setelah kontraknya selesai, ia lalu
pindah ke Ubud, Bali, pada tahun 1927. Di sinilah ia menemukan tempat impiannya
dan menetap hingga menjelang kematiannya. Di bawah perlindungan raja Ubud masa
itu, Cokorda Gede Agung Sukawati, Walter Spies banyak berkenalan dengan seniman
lokal dan sangat terpengaruh oleh estetika seni Bali. Ia mengembangkan apa yang
dikenal sebagai gaya lukisan Bali yang bercorak dekoratif. Dalam seni tari ia
juga bekerja sama dengan seniman setempat, Limbak, memoles sendratari yang
sekarang sangat populer di Bali, Kecak.
Sering kali dikatakan bahwa ia
adalah orang yang pertama kali menarik perhatian tokoh-tokoh kesenian Eropa
terhadap Bali. Ia memiliki jaringan perkenalan yang luas dan mencakup
orang-orang ternama di Eropa. Sejumlah temannya banyak diundangnya ke Bali
untuk melihat sendiri pulau kebanggaannya itu. Di bulan Desember 1938 Spies
sempat dipenjara karena dituduh homoseksual. Ia baru dibebaskan karena bantuan
beberapa temannya, di antaranya Margaret Mead, pada September 1939.
Perang Dunia Kedua membawanya pada
nasib buruk. Sebagai orang Jerman, ia ditangkap pemerintah Hindia Belanda. Ia
meninggal 19 Januari 1942 karena tenggelam bersama-sama dengan kapal 'Van
Imhoff' yang ditumpanginya. Kapal dengan 477 tawanan dan 110 awak kapal itu
tidak mempunyai ciri-ciri yang khas yang menandai bahwa kapal itu kapal yang
membawa tahanan perang, sehingga diserang oleh armada Angkatan Laut Kekaisaran
Jepang di perairan barat Sumatera Utara. Kapal yang seharusnya berlayar ke
Srilanka itu mengangkut orang-orang Jerman yang diusir dari Hindia Belanda
akibat serangan Jerman ke Belanda.
"The
Ice Skaters" by Walter Spies, Auction by Sotheby's Hongkong
Adrien-Jean Le Mayeur de Merpres
Salah satu pelukis asing terkenal,
yang pernah menetap dan tinggal di pulau Bali, nama lengkap Adrien-Jean Le
Mayeur de Merpres lahir di Brusel 9 Februari 1880, meninggal di Ixelles 31 Mei
1958 pada umur 78 tahun, dia adalah seorang pelukis dari Belgia, tiba di
Singaraja - Bali dengan perahu pada tahun 1932, kemudian menetap di Denpasar.
Le Mayeur menyewa sebuah rumah di
banjar Kelandis - Denpasar, tempatnya berkenalan dengan penari legong Ni Nyoman
Pollok yang berusia 15 tahun, yang kemudian menjadi model lukisannya.
Sejumlah karya Le Mayeur yang
menggunakan Ni Pollok sebagai model dipamerkan di Singapura untuk pertama
kalinya pada tahun 1933, yang kemudian sukses dan iapun terkenal. Kembali dari
Singapore, Le Mayeur membeli sepetak tanah di Pantai Sanur dan membangun rumah.
Di rumah yang menjadi studio ini, Ni Pollok bekerja tiap hari sebagai model
bersama 2 sahabatnya. Kecantikan dan kepribadian Ni Pollok telah memikat hati
Le Mayeur. Awalnya, ia hanya akan tinggal selama 8 bulan, namun kemudian ia
memutuskan untuk tinggal di pulau itu sampai akhir hayatnya.
Setelah 3 tahun bekerja bersama,
pada tahun 1935, Le Mayeur dan Ni Pollok menikah. Sepanjang kehidupan
pernikahannya, Le Mayeur tetap melukis dengan menggunakan istrinya sebagai
model.
Pada tahun 1956, Bp. Bahder Djohan,
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia saat itu mengunjungi Le Mayeur
dan Ni Pollok di rumahnya. Bahder begitu terpesona dengan karya pelukis itu dan
kemudian mengusulkan kepada pasangan itu untuk melestarikan rumah mereka dan
seisinya sebagai museum. Le Mayeur menyetujui gagasan itu dan sejak itu ia
bekerja lebih keras untuk menambah banyak koleksi rumah itu dan menambah
kualitas karyanya juga.
Akhirnya, impian Le Mayeur menjadi
kenyataan ketika pada tanggal 28 Agustus 1957, sebuah dokumen ditandatangani,
yang isinya adalah bahwa Le Mayeur mewariskan semua miliknya termasuk tanah,
rumah, dan seisinya kepada Ni Pollok sebagai hadiah. Di saat yang sama, Ni
Pollok kemudian memindahkan semua yang diwarisi dari suaminya kepada Pemerintah
Indonesia untuk digunakan sebagai museum.
Pada tahun 1958, Le Mayeur menderita kanker telinga parah,
dan ditemani oleh Ni Pollok ia kembali ke Belgia untuk menerima perawatan
medis. Setelah 2 bulan di sana, akhirnya Le Mayeur meninggal dunia dalam usia
78 tahun dan dimakamkan di Ixelles/Elsene, Brusel. Ni Pollok kemudian pulang
kampung untuk merawat rumahnya yang menjadi museum hingga kematiannya pada
tanggal 18 Juli 1985 dalam usia 68 tahun.
"Three
Dancers in the Garden" by Le Mayeur, Size: 100cm x 120.5 cm
*)
Auction: Christie's Hongkong
Johan
Rudolf Bonnet lahir di Amsterdam - Belanda pada
30 Maret 1895 – meninggal di Laren - Belanda pada18 April 1978 pada umur 83
tahun, ia adalah seorang pelukis berkebangsaan Belanda yang menghabiskan
sebagian besar hidupnya di Ubud - Bali sebagai seorang pelukis. Dia adalah
salah seorang dari banyak pelukis asing yang berkontribusi pada kemajuan seni
lukis di Indonesia, khususnya di Bali.
Rudolf Bonnet lahir dari keluarga
Huguenot Belanda yang selama banyak generasi telah menjadi pembuat kue / roti
di Amsterdam. Bonnet berjuang keras untuk dapat keluar dari gaya hidup
borjuisnya untuk menjadi seorang seniman lukis.
Ketertarikan Bonnet untuk hidup
sebagai seniman membawanya ke Italia pada tahun 1920, di mana dia mendapat
banyak pengaruh dari lukisan-lukisan renaisans. Dia menetap selama delapan
tahun di desa Anticoli Corrado di sebelah Selatan kota Roma. Di Italia Bonnet
bertemu dengan W.O.J. Nieuwenkamp, seorang seniman Belanda yang telah
berkeliling di Hindia-Belanda dan kemudian menetap di sebuah villa di dekat
kota Firenze. Nieuwenkamp-lah yang meyakinkan Bonnet untuk pergi ke Bali.
Bonnet sempat menjalani dua tahun
sekolah di sekolah teknik Hendrick de Keyser di Amsterdam. Tahun 1913 dia
mengikuti Ujian Nasional untuk sekolah seni rupa terapan negeri dan tahun 1916
dia lulus dari sekolah tersebut. Dia juga menjalani pendidikan formal di
sekolah Rijksacademie van Beeldende Kunsten (Akademi Seni Adiluhung Belanda) di
Amsterdam dan kursus dekorasi harian di Haarlem.
Rudolf Bonnet datang ke
Hindia-Belanda (sebutan untuk Republik Indonesia pada zaman kolonial Belanda)
pada tahun 1928 bersama kedua orangtuanya untuk mengunjungi saudara laki-laki
dan perempuannya. Dia tiba di Batavia, Hindia-Belanda dia atas kapal S.S. 'Jan
Pieterszoon Coen'. Dia sempat tinggal di kota Semarang, namun bujukan dan
foto-foto yang ditunjukkan oleh Nieuwenkamp di Italia mendorong rasa
ketertarikannya untuk pergi ke kepulauan di sebelah Timur Jawa.
Pada tahun 1920-an memang banyak
seniman dari Eropa yang pergi ke Bali untuk melukis di sana karena keunikan
budaya Bali. Bonnet berdasar rasa ketertarikannya juga menganjurkan banyak
seniman lain untuk pergi ke Bali. Setelah sempat berkunjung ke Pulau Nias,
Bonnet tiba di Bali pada bulan Januari 1929, di mana dia kemudian tinggal dan
mulai menggambar dan melukis.
Bonnet segera menyukai tari-tarian,
budaya arak-arakan dan upacara adat di Bali sehingga memutuskan untuk menetap
di sana. Setelah dua bulan tinggal di Tampaksiring, dia pindah ke Peliatan di
sebuah paviliun yang disewanya dari seorang punggawa (kepala desa) di Peliatan.
Oleh punggawa tersebut dia diperkenalkan dengan orang-orang yang terkenal saat
itu di sana, antara lain pelukis Jerman Walter Spies, serta pangeran kerajaan
Ubud Tjokorda Gede Raka Soekawati dan Tjokorda Gede Agoeng Soekawati (raja Ubud
pada masa 1931-1950, meninggal tahun 1978) . Mereka menjadi sahabat dekat, dan
saat Spies pindah ke rumah baru di Campuhan, Bonnet menggunakan kediaman Spies
di Ubud untuk mendirikan studio lukisnya di sana.
Di Bali, Bonnet kemudian bekerja
dekat dengan Walter Spies yang berusia sama dengan Bonnet namun tiba di Bali
lebih dulu daripada Bonnet (tahun 1927). Spies menyediakan Bonnet muda dengan
fasilitas melukis yang baik dan subjek lukisan alternatif untuk lukisan mereka.
Spies dan Bonnet menjadi sangat terlibat di kehidupan sosial, mereka bekerja
bersama bertahun-tahun dan sangat berpengaruh pada kehidupan seni di Bali.
Mereka bersama-sama mendirikan persatuan seniman Bali Pita Maha.
Rudolf Bonnet dan Walter Spies
mewakili hidup ekspatriat gay Bali yang berbeda karakter dan polaritas pada
masanya. Spies dikenal sangat semarak dan cemerlang oleh masyarakat Bali,
sedangkan Bonnet dikenal lebih pemikir dan serius dalam menjalankan
rencana-rencananya.
Setelah pasukan Jepang mendarat
tahun 1942 di Hindia-Belanda, Bonnet tidak segera dipenjara seperti orang-orang
Eropa lainnya. Namun tak lama setelah petugas militer Jepang baru datang di
Ubud, Bonnet ditangkap dan diasingkan ke Sulawesi tahun 1943. Bonnet kemudian
menghabiskan hari-hari tawanannya di perkemahan tawanan di wilayah Bolong dan
akhirnya di Makassar sampai tahun 1947.
Setelah selesainya Perang Dunia II
dan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, pada masa-masa Revolusi Nasional
Indonesia Bonnet datang kembali ke Ubud. Seperti orang-orang dalam komunitas
Belanda di Bali yang lain, Bonnet memutuskan untuk tinggal dan meneruskan
pekerjaan melukisnya.
Dalam kondisi ketidakstabilan
politik pada masa itu, Bonnet mengadakan pameran lukisan paska-perang pertama
di Bali, di bawah bantuan pemerintahan Negara Indonesia Timur saat itu. Saat
paska-perang inilah pengaruh seni Bonnet di Bali mencapai puncaknya, dengan
populernya Ubud sebagai pusat seni lukis dan adanya organisasi Pita Maha yang
didirikannya bersama Walter Spies.
Tahun 1951 Bonnet mencoba mendirikan organisasi Golongan
Pelukis Ubud yang serupa Pita Maha namun lebih berpusat pada para pelukis di
daerah Ubud. Walaupun didukung seniman terkenal Ubud seperti I Gusti Nyoman
Lempad dan Anak Agung Gede Sobrat, Golongan Pelukis Ubud tak dapat mencapai
kesuksesan yang sama dengan Pita Maha.
"Keluarga
Italia" karya R.Bonnet, Media: tempera diatas kain, Ukuran: 150cm x 182cm
*)
Koleksi Bung Karno
Willem Gerard Hofker
Willem Gerard Hofker lahir di Den
Haag - Belanda pada tanggal 2 Mei 1902, dan meninggal dunia di Amsterdam 30
April 1981. Dia anak dari Gerrit Jan Hofker, pegawai negeri di Pos dan Telkom.
Selama beberapa waktu ayah beliau menjadi teman sekerja De Nieuwe Gids dan
berteman dengan anggota-anggota Beweging der Tachtigers (Gerakan Delapan
puluhan). Beliau memberi nama anaknya dari Willem Witsen.
Willem Hofker awalnya study di
Haagse Academie dan kemudian pada usia 14 Tahun, melanjutkan di Rijksacademie
voor Beeldende Kunsten di Amsterdam. Beliau juga dididik oleh Willem Witsen dan
Isaac Israel, yang bersahabat baik dengan ayahnya, yang jadi artis amatir dan
penulis, anggota yang berkaitan dengan gerakan 'de Beweging van Tachtig'. Tahun
1927 Willem Hofker menang hadiah kedua di Prix de Rome. Tahun 1930 beliau
menikahi Maria Rueter, ahli pelukis juga, anak perempuan Georg Rueter, pelukis
dan dosen kepala di Rijksacademie voor Beeldende Kunsten di Amsterdam.
Pada tahun 1920-an, Hofker telah menyelesaikan beberapa pekerjaan
monumental-dekoratif, antara lain untuk Koninklijke Nederlandsche Stoomvaart
Maatschappij (KNSM), dimana beliau membuat beberapa lukisan dinding untuk
kapal-kapal. Dari karya itu hampir tidak ada ketinggalan. Reputasi Hofker
sebagai pelukis potret, menerima pesanan tahun 1936 melukis potret ratu
Wilhelmina dari Belanda, untuk kantor pusat Koninklijke Pakketvaart
Maatschappij (KPM) di Batavia, sekarang Jakarta.
Tahun 1938 suami isteri melakukan
perjalanan ke hindia dan teruskan dengan perjalanan diseluruh jajahan Belanda.
Pada waktu perjalanan itu mereka membuat gambar-gambar dan lukisan wilayah
Indonesia yang memungkinkan direproduksi dan dipakai oleh KPM.
Suami isteri Hofker menetap di Bali,
dimana Willem membuat gambar-gambar pemandangan dan penari Bali. Hofker bergaul
dengan banyak pelukis, antara lain Walter Spies, Strasser, Le Mayeur dan
sahabat baik mereka, Rudolf Bonnet. Tahun 1940 suami isteri pindah ke Ubud.
Kebanyakan karya Hofker di Indonesia dibuat dalam periode antara Tahun 1938 -
1944. Karya seni beliau adalah bergaya halus, mengalir, dan juga puitis. Di
Bali sebagian besar lukisan beliau bertema kuil dan kehidupan agama di pulau
Bali, dan orang-orang Bali.
Waktu Perang Dunia II Hofker dengan
temannya Bonnet, dipaksa ikut serta dengan KNIL di Surabaya, kemudian suami dan
isteri di internir oleh tentara Jepang di kemah masing-masing pada tahun 1943,
Willem sendiri di Tana Toraja, Sulawesi Tengah. Pada zaman ini kebanyakan
sketsa Maria Hofker jadi hilang. Pada akhir masa perang, pasangan suami isteri
tidak mau ikut serta gerakan Nasionalis Indonesia dan kembali ke Belanda.
Kembali ke Belanda tahun 1946, masa
sulit untuk pasangan Hofker ini. Suasana perkembangan seni pada itu telah
merubah seluruhnya. Karya figuratif Willem hampir tidak dapat penghargaan dari
teman-temanya. Meskipun, pada akhirnya pesanan portret mulai meningkat cepat.
Jumlah seluruhnya, Willem Hofker melukis kira-kira 800 potret untuk individu
dan organisasi-organisasi, antara lain universitas dan perbankan. Termasuk,
pada tahun 1970, potret Herman van den Wall Bake, presdir Algemene Bank
Nederland (ABN). Willem Hofker juga ahli dalam melukis pemandangan kota
Amsterdam dengan media crayon, dimana beliau fokus pada arsitektur, potret
rumah-rumah dan kota-kota. Gambar-gambar Amsterdam ini dikumpulkan dalam tiga
buku. Koleksi karya Bali terbit dengan judul 'Bali as seen by Willem Hofker'
(1978). Di Belanda Willem Hofker masih melukis dengan tema orang-orang dan
pemandangan Bali, dengan media kertas dan canvas.
Selama bagain akhir masa hidupnya,
Willem Hofker memberikan banyak andil dalam perkembangan dunia seni lukisan,
dengan publikasi karya-karya lukisanya, reputasi beliau meningkat. Saat ini
karya pemandangan dan penari Bali beliau sangat dicari. Dan juga secara
internasional, karya-karya pada masa Hofker menetap di Bali, menarik banyak perhatian
didalam tahun-tahun terakhir masa hidupnya. Willem Hofker berdiam di
Zomerdijkstraat, Amsterdam dari 1934 - 1938 dan dari 1946 - 1967.
"Membakti,
konte dan pastel diatas kertas" by W.G Hofker, Size: 52cm x 29,5cm
Gered Pieter Adolfs
Gered Pieter Adolfs, pelukis dari generasi Mooi Indie,
berkebangsaan Belanda. Lahir di Semarang, JawaTengah, 2 Januari 1897. Seorang
seniman otodidak yang mempelajari arsitektur di negara Belanda. Kembali ke
Indonesia tahun 1922, dan sejak tahun 1925 menjadi pelukis secara total dan
sekaligus seorang fotografer handal. Satu gambar dirinya yang digambar secara
karikatural, memperlihatkan bentuk telinga yang sangat besar, ditampilkan di
surat kabar De Java-Bode edisi 25 November 1938, sebagai tambahan artikeI
tentang pameran tunggalnya di Hotel Des Indes Jakarta waktu itu.
Tahun 1940, ia kembali ke Belanda dan tinggal di 's- Hertogenbosch, meskipun terus menggambar obyek-obyek Indonesia saat berada di Belanda, dia tidak mampu mencapai kualitas karya-karya buatan sebelum tahun 1940-an. Sebagai seorang penggambar, pelukis cat air, dan seniman gratis dia telah membuat banyak ilustrasi buku dan menulis beberapa buku seperti Bali and Java (Jakarta, 1938) dan Soerabaja (Amsterdam, 1947) yang dipenuhi dengan ilustrasi karyanya sendiri. Sebelum tahun 1940 ia memberi tanda karyanya dengan pengenal "Ger.P. Adolfs". Setelah perang, saat dia telah berada di Belanda, dia menandainya dengan pengenal 'Adolfs'. Meninggal di 's- Hertogenbosch, Belanda, 1 Februari 1968.
Beberapa pameran yang pernah dilakukannya di:
Tahun 1940, ia kembali ke Belanda dan tinggal di 's- Hertogenbosch, meskipun terus menggambar obyek-obyek Indonesia saat berada di Belanda, dia tidak mampu mencapai kualitas karya-karya buatan sebelum tahun 1940-an. Sebagai seorang penggambar, pelukis cat air, dan seniman gratis dia telah membuat banyak ilustrasi buku dan menulis beberapa buku seperti Bali and Java (Jakarta, 1938) dan Soerabaja (Amsterdam, 1947) yang dipenuhi dengan ilustrasi karyanya sendiri. Sebelum tahun 1940 ia memberi tanda karyanya dengan pengenal "Ger.P. Adolfs". Setelah perang, saat dia telah berada di Belanda, dia menandainya dengan pengenal 'Adolfs'. Meninggal di 's- Hertogenbosch, Belanda, 1 Februari 1968.
Beberapa pameran yang pernah dilakukannya di:
- Yogyakarta, Loji Mataram, Maret 1924 (Pameran Tunggal)
- Surabaya, Kunstkringhuis, Desember 1926 (pameran tunggal)
- Hague, Koninklijke Kunstzaal Kleijkamp, Januari 1929 (pameran tunggal)
- Jakarta, Kunstkringgebouw Maret 1934 (pameran tunggal)
- Amsterdam, Kunstzaal Fetter, Oktober 1934 (pameran tunggal)
- Jakarta Kunstzaal Kolff & Co. Juli 1935 (pameran tunggal)
- Jakarta, Hotel Des Indes, Desember 1936 (pameran tunggal ).
"Legong"
by Gerard Adolfs, Medium: gouache on paper, Size: 23cm x 17.5 cm
*)
Auction: Christie's Hongkong
Lahir
di Manila, Filipina, 15 September 1912 – meninggal di Bali,
Indonesia, 10 Desember 1999 pada umur 87 tahun, adalah seorang pelukis
keturunan Spanyol dan Amerika. Antonio lahir di distrik Ermita di Manila,
Filipina. Ia pada mulanya hidup dan bekerja di Florida dan California, Amerika
Serikat, hingga pada suatu waktu hatinya tertarik untuk mengeksplorasi
pulau-pulau di Samudra Pasifik sebagai sumber inspirasinya seperti pelukis Paul
Gauguin, José Miguel Covarrubias dan yang lainnya sebelum dirinya. Ia berencana
untuk pergi ke Tahiti, tapi nasib membawanya ke Hawaii, Jepang dan Kamboja,
dimana ia menjadi tamu kehormatan Pangeran Norodom Sihanouk.
Dari Cambodia ia kemudian pergi ke Bali pada tahun
1952 dan menikahi seorang wanita model lukisannya dan seorang penari
tradisional Bali bernama Ni Ronji pada tahun 1953. Bali memberikan Antonio
elemen penting yang ia butuhkan untuk membangun hasrat seninya yang jenius:
pemandangan yang indah, suasana lingkungan yang seperti impian, dan keberadaan
seni dan cinta yang luar biasa.
Semenjak saat itu, Antonio tidak pernah meninggalkan
mimpinya dan mulai mewujudkan mimpinya itu dalam hidup dan karya-karyanya. Ia
membangun sebuah rumah tinggal plus museum di Ubud yang menjadi tempat
istirahatnya yang penuh keajaiban. Bangunan tersebut dibangun berdasarkan citra
dan kesukaannya dimana Antonio menjadi sangat betah tinggal di dalamnya dan
sangat jarang keluar.
Tanah tempat dibangunnya tempat tinggal Antonio tersebut
adalah tanah pemberian Raja Ubud dari Puri Saren Ubud, Tjokorda Gde Agung
Sukawati.
Orang tidak akan bisa membicarakan Antonio Blanco
tanpa berbicara mengenai wanita sebab wanita adalah fokus dari karya-karya
lukisnya. Bisa dikatakan bahwa Antonio adalah seorang pelukis feminin abadi. Ia
merupakan seorang maestro lukisan romantik-ekspresif.
Sepanjang kariernya, Antonio menerima berbagai
penghargaan, termasuk diantaranya Tiffany Fellowship (penghargaan khusus dari
The Society of Honolulu Artists), Chevalier du Sahametrai dari Cambodia,
Society of Painters of Fine Art Quality dari Presiden Soekarno dan Prize of the
Art Critique di Spanyol. Antonio juga menerima penghargaan Cruz de Caballero
dari Raja Spanyol Juan Carlos I yang memberikannya hal untuk menyandang gelar
"Don" di depan namanya.
Banyak kolektor yang menghargai karya-karya
lukisnya, seperti aktris Ingrid Bergman, ratu telenovela Mexico Thalía (Ariadna
Thalía Sodi Miranda), Soekarno (Presiden pertama Indonesia), Soeharto (Presiden
kedua Indonesia), mantan Wakil Presiden Indonesia Adam Malik, Pangeran Norodom
Sihanouk, Michael Jackson (penyanyi yang dijuluki Raja Pop Dunia yang sempat
membubuhkan tanda-tangannya pada sebuah lukisan sebagai sebuah donasi untuk
Children of the World Foundation), dan masih banyak lagi.
Keinginan Antonio untuk suatu hari nanti memiliki
museum akhirnya mulai terwujud juga dan diberi nama The Blanco Renaissance
Museum. Museum yang mulai dibangun pada 28 Desember 1998 di lingkungan
kediamannya yang asri itu kini berdiri megah, menyimpan lebih dari 300 karya
Antonio dan secara kronologis memperlihatkan pencapaian estetik dari Antonio
muda hingga yang paling mutakhir. Secara arsitektural, bangunan museum yang
berkesan rococo itu juga menawarkan filosofi dan kearifan Bali.
Don Antonio Maria Blanco meninggal dunia pada
tanggal 10 Desember 1999 di Denpasar, Bali, akibat penyakit jantung dan ginjal
yang dideritanya. Ia meninggalkan seorang istri dan empat orang anak: Cempaka,
Mario, Orchid dan Mahadewi. Semenjak Antonio telah menjadi penganut Hindu,
upacara persiapan kremasi ala Bali untuknya diadakan di sebuah rumah
peristirahatan jenazah di Campuhan, Ubud, yang diikuti dengan rentetan upacara
lainnya semenjak tanggal 23 Desember 1999. Peristiwa pembakaran mayatnya sendiri
(Ngaben) baru terjadi pada tanggal 28 Desember 1999.
"Potret
wanita Bali" by Antonio Blanco, Medium: Water color on paper, Size:
33cm x 34,5cm
Roland
Strasser lahir di Wina, Austria, 4 April
1895. Anak dari seorang pemahat, A Strasser. Dia mengikuti pendidikan Seni di
Vienna dan melanjutkan pendidikan seni di Munich Jerman. Selama PD I dia
menjabat pelukis perang di Angkatan Perang Austria. Perjalanan seni, yang
datang ke Indonesia pada tahun 1920, dia tinggal di Jawa, Sumatera, Irian Jaya,
dan Bali. Dia berpartisipasi di beberapa pameran di Jakarta, Bandung, dan
Surabaya antara tahun 1921 dan 1937. Dia bertemu W Dooyewaard di Bali dan
melanjutkan perjalanan ke Cina, Tibet, Mongolia, dan Jepang. Sekitar tahun
1935-1945 bersama istrinya tinggal di Kintamani, Bali.
Terakhir dia tinggal di Santa Monica USA. Pelukis terkenal, juru gambar dan pelukis cat air dalam gaya ekspresionis. Pekerjaan utamanya mengkombinasikan aliran ekspresionis Austria dengan keajaiban dan keindahan Timur Jauh. Dia menulis sebuah buku tentang perjalanan di Cina dan Mongolia yang digambarkan dalam lukisannya 'The Mongolian Horde' (London, New York, Toronto, 1931).
Pernah mengadakan pameran di:
Terakhir dia tinggal di Santa Monica USA. Pelukis terkenal, juru gambar dan pelukis cat air dalam gaya ekspresionis. Pekerjaan utamanya mengkombinasikan aliran ekspresionis Austria dengan keajaiban dan keindahan Timur Jauh. Dia menulis sebuah buku tentang perjalanan di Cina dan Mongolia yang digambarkan dalam lukisannya 'The Mongolian Horde' (London, New York, Toronto, 1931).
Pernah mengadakan pameran di:
- Jakarta, 'The Art of Roland Strasser', 1922 (pameran tunggal)
- London, WB. Paterson Galleries, Oktober 1924 (pameran tunggal)
- Berlin, Louis Guditt, Galerie, 1928 (pameran tunggal)
- Jakarta, Kunstkringgebouw, September 1932 (dengan W. Dooyewaard)
- Jakarta, Bataviasche Kunstkring, November 1938 (pameran tunggal)
- Bali, Duta Fine Arts Foundation, 1991 (pameran tunggal).
Karyanya dikoleksi Museum Agung Rai Fine Art Gallery, Peliatan, Bali; Museum of Urga, Urga, (Mongolia).
"Mendayung"
by Rolland Strasser, Medium: Oil on Carton, Size: 38cm x 46cm
Vincent
Willem van Gogh
Vincent Willem van Gogh (30 Maret
1853 – 29 Juli 1890) adalah pelukis pasca-impresionis Belanda. Lukisan-lukisan
dan gambar-gambarnya termasuk karya seni yang terbaik, paling terkenal, dan
paling mahal di dunia. Van Gogh dianggap sebagai salah satu pelukis terbesar
dalam sejarah seni Eropa. Ia merupakan sulung dari 6 bersaudara, putra pendeta
protestan di Groot Zundert, lukisannya beraliran posimpressionisme yang
mewakili era spontanitas emosional dalam seni lukis. Vincent adalah orang yang
muram, gelisah, dan temperamental, namun pengetahuannya sangat luas. Hal ini
dapat dilihat di 700 surat yang dikirimkannya pada saudara yang paling
dikasihinya, Theo, yang juga bertugas sebagai manajernya. Surat-surat ini
kemudian diterbitkan sebagai catatan kehidupan Van Gogh pada 1911.
Pada masa mudanya Van Gogh bekerja pada sebuah perusahaan penjual karya seni, dan setelah beberapa waktu bekerja sebagai guru, ia melayani sebagai misionaris yang bekerja di wilayah pertambangan yang sangat miskin. Pada usia 16, Vincent dikirim belajar ke Den Haag untuk bekerja pada pamannya yang merupakan rekan perusahaan internasional yang berdagang karya seni. Disana ia belajar melukis pada Anton Mauve. Setelah gagal menangani klien, ia dikirim ke London dan kemudian berpindah-pindah ketempat paman-pamannya yang lain, sampai ia mengejutkan semua orang akan kemampuan berkothbahnya. Ia pun belajar disebuah pelatihan injil di Belgia, namun di tinggalkannya untuk bekerja sebagai pendeta dikalangan pekerja tambang miskin disana.
Pada usia 27 tahun, ia menemukan panggilan sejatinya dan kembali ke Belanda. Ia membuat sebuah karya yang sesuai dengan kemanusiaannya, pemakan kentang (1885), gelap dan muram, mengungkapkan kesedihan dan kemiskinan orang-orang dalam lukisannya. Tahun yang sama, ia mendaftar di akademi seni di Antwerpen, Belgia. Namun ia pergi pada hari ke dua, setelah gurunya mengatakan bahwa sapuan kuasnya terlalu berat. Dikota ini ia sempat dipengaruhi gaya lukisan Peter Paul Rubens dan pelukis Jepang bernama Hokusai (1760-1849).
salah
satu lukisan van gogh
Pablo Ruiz Picasso
(lahir 25 Oktober 1881 – meninggal
8
April 1973
pada umur 91 tahun) adalah seorang seniman
yang terkenal dalam aliran kubisme
dan dikenal sebagai pelukis revolusioner
pada abad
ke-20. Jenius seni yang cakap membuat patung,
grafis, keramik,
kostum penari balet
sampai tata panggung. Lahir di Malaga,
Spanyol
25
Oktober 1881
dengan nama lengkap Pablo (atau El Pablito) Diego José Santiago Francisco de
Paula Juan Nepomuceno Crispín Crispiniano de los Remedios Cipriano de la
Santísima Trinidad Ruiz Blasco y Picasso López. Ayahnya bernama Josse Ruiz
Blasco, seorang profesor seni dan ibunya bernama Maria Picasso Lopez.
Picasso memiliki sifat yang selalu ingin belajar.
Perbedaan kota atau negara bukan suatu halangan untuk memperoleh beragam ilmu.
Di usia 14 tahun, ia lulus ujian masuk School of Fine Arts di Barcelona dan dua
tahun pindah ke Madrid
untuk belajar di Royal Academy. Tak lama kemudian dia kembali lagi ke Barcelona
dan bergabung di Els Quatre Gats, tempat para penyair, artis dan kritikus untuk
tukar menukar ide yang didapat dari luar Spanyol. Pada usia 23 tahun, Picasso
pindah ke Paris,
kota pusat seni dunia pada masa itu.
Banyak seniman-seniman masyhur ditandai oleh satu macam gaya dasar. Tidaklah
demikian Picasso. Dia menampilkan ruang luas dari pelbagai gaya yang
mencengangkan. Kritikus-kritikus seni memberi julukan seperti "periode
biru", "periode merah muda", "periode neo-klasik", dan
sebagainya. Dia merupakan salah satu dari cikal bakal "Kubisme," Dia
kadang ikut serta, kadang menentang perkembangan-perkembangan baru dalam dunia
lukis-melukis modern. Mungkin tak ada pelukis dalam sejarah yang sanggup
melakukan karya dengan kualitas begitu tinggi dengan lewat begitu banyak gaya
dan cara.Picasso menghasilkan 20.000 karya dalam hidupnya. Yang menarik, Picasso sering berganti gaya lukisan. Ini bisa terjadi karena Picasso memiliki banyak teman. Seperti dari gaya lukisan biru dan merah jambu (karena lukisan didominasi warna biru dan merah jambu) berubah drastis ke gaya kubisme, akibat pengaruh pertemanannya dengan Georges Braque.
Gaya kubisme inilah yang mengejutkan dunia seni, karena mengubah persepsi orang akan suatu keindahan seni. Kalau sebelumnya lukisan wanita mudah dikenali wajah modelnya, oleh Picasso dibuat drastis sehingga bentuk lukisannya sulit dikenali lagi, seperti yang ia tuangkan lewat karya Demoiselles d'Avignon. Ini bukan berarti Picasso sembarangan saja membuat lukisan. Ia sebelumnya telah mempelajari karya pematung Iberia dan patung-patung Afrika lainnya (patung primitif) yang biasanya berbentuk melengkung dan tidak proporsional.
Ketidaksembarangan Picasso juga dibuktikan dengan beberapa eksperimen yang sering dilakukannya, terutama pada perspektif dan distorsi yang ada pada suatu lukisan. Sehingga gaya kubisme temuan Picasso ini mengubah wawasan dunia akan penilaian suatu lukisan. lukisan bukan saja sebagai keindahan seni, tetapi merupakan pula sebagai hasil penelitian dan eksperimen.
Salah
satu karyanya
Michaelangelo
Buonarroti
Atau nama lengkapnya
dalam bahasa Italia Michelangelo di Lodovico Buonarroti Simoni (dalam
bahasa Spanyol disebut Miguel Ángel; dalam bahasa Perancis disebut Michel-Ange,
kurang lebih memiliki arti Malaikat Mikail) (6 Maret, 1475 – 18 Februari, 1564)
ialah seorang pelukis, pemahat, pujangga, dan arsitek zaman Renaissance.
Ia terkenal untuk sumbangan studi anatomi di dalam Seni Rupa. Karyanya yang dianggap terbaik adalah Patung David, Pietà, dan Fresko di langit-langit Sistine’s Chapel.
Ia terkenal untuk sumbangan studi anatomi di dalam Seni Rupa. Karyanya yang dianggap terbaik adalah Patung David, Pietà, dan Fresko di langit-langit Sistine’s Chapel.
Karya:
Maaf lukisan kakek yg menggendong cucunya trsebut diatas merupakan lukisan realis kakek saya yaitu Alm. Rustamadji surabaya..bukan rustamadji klaten..mohon ditinjau kembali yah kpda ahli warisnya..jng asal bkin artikel
BalasHapus